“Menanam satu pohon berarti 
menunda kiamat”, guyonan ini pernah dilontarkan oleh salah seorang 
aktifis mahasiswa pecinta alam, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri 
(STAIN) Datokarama Palu, dalam sebuah perbincangan santai di Sekertariat
 mereka pada medio awal 2010 lalu.
“Meski
 Tuhan telah menetapkan kiamat akan datang esok hari, tetaplah menanam 
pohon hari ini”. Ucap pria yang akrab disapa Nejo itu disambut 
argumentasi ringan dari teman-temannya. Tak ada istilah REDD yang 
terucap kala itu, namun kalimat itu menjadi relevan menggambarkan tujuan
 REDD.
Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
 (REDD) merupakan inisiatif  global yang bertujuan mengurangi tingkat 
emisi berbahaya di atmosfir bumi. Melalui UNFCC, sebuah kerangka kerja 
PBB untuk menurunkan emisi bumi, skema REDD muncul pada pertemuan (COP) 
ke-13 di Bali tahun 2007 silam.
“Saat ini belum ada yang ahli 
soal REDD, sebab perundingan belum berakhir”, ucap Marcus Colchester di 
sela Workshop REDD yang dilaksanakan Yayasan Merah Putih (YMP) Palu 
bulan Juni 2010 lalu. Namun secara sederhana REDD dapat dipahami sebagai
 solusi pengurangan emisi bumi dengan cara menghentikan pengundulan dan 
memperbaiki fungsi hutan.
Dengan begitu hutan dapat 
berfungsi maksimal menyerap karbon berbahaya dari aktifitas mahluk hidup
 utamanya manusia. REDD muncul dari kesadaran bersama beberapa Negara 
atas kerusakan lingkungan global. Negara maju menghasilkan emisi dari 
aktifitas industrinya, sedangkan Negara berkembang menghasilkan emisi 
dari pembakaran dan penggundulan hutan.
Skema REDD kemudian ditawarkan 
kepada Negara berkembang untuk menebus kesalahannya merusak hutan. 
Sementara Negara maju akan menyediakan sejumlah dana untuk membiayai 
program ini juga sebagai pertangungjawaban atas emisi yang mereka 
hasilkan. Tak kurang dari 30 miliar dolar AS atau sekitar 300 triliun 
rupiah telah disiapkan oleh Negara maju untuk program mitigasi dan 
adaptasi tersebut. Jumlah ini akan bertambah menjadi 100 miliar dolar AS
 pertahun pada tahun 2020. 
Namun yang mengejutkan, keraguan
 dan penolakan justru datang dari beberapa aktifis dan organisasi 
lingkungan. Kenapa mereka menolak program yang tujuannya melestarikan 
lingkungan ?
Umumnya aktifis lingkungan 
menilai pemerintah masih latah berbicara terkait lingkungan. Masih 
banyak hal yang mesti diperhitungkan sebelum masuk pada implementasi 
REDD, proteksi hutan pastinya akan berdampak pada kehidupan masyarakat 
di dalam dan sekitar kawasan hutan yang sangat bergantung pada 
sumberdaya hutan. 
Jika tidak dirundingkan bersama,
 kebijakan ini akan menuntut “penguncian” hutan dari segala macam 
aktifitas. Lalu bagaimana posisi masyarakat adat yang hidupnya 
bergantung pada hutan, atau aktifitas penelitian dan pendakian oleh 
pegiat alam bebas.
Jumlah dana yang besar dicurigai
 menjadi pemicu perubahan mendadak kebijakan pemerintah terkit 
lingkungan. “Pertanyaan mendasar yang kemudian muncul adalah siapa yang 
akan diuntungkan dari skema REDD ini” ungkap Rahmat Hidayat, Alumni 
Green Student Movement (GSM) Walhi Institute. 
___ Disarikan dari Majalah SILO Yayasan Merah Putih, Palu.
Kebijakan "mengunci" Hutan 
 Reviewed by Silo Langi
        on 
        
2/27/2014 12:36:00 AM
 
        Rating:
 
        Reviewed by Silo Langi
        on 
        
2/27/2014 12:36:00 AM
 
        Rating: 
 Reviewed by Silo Langi
        on 
        
2/27/2014 12:36:00 AM
 
        Rating:
 
        Reviewed by Silo Langi
        on 
        
2/27/2014 12:36:00 AM
 
        Rating: 



 
 
 
 
 
 
No comments: