![]() |
Foto made by Sora.ai |
SiloLangiNews-Palu. “Genjer-genjer nong kedokan pating keleler, emake thulik teko-teko mbubuti genjer…”
Lagu ini dulu dinyanyikan bukan dengan pengeras suara atau di panggung megah. Ia tumbuh pelan, menyusup ke bibir-bibir perempuan desa yang sedang mencabut tanaman liar dari sawah. Ia tidak dilahirkan dari semangat ideologis, tapi dari perut yang lapar dan dapur yang sepi. Genjer, tumbuhan liar yang tidak dilirik siapa-siapa, menjadi pengganti sayur ketika uang tidak ada. Lalu lagu itu lahir bukan untuk dipentaskan, tetapi untuk menemani kerja yang berat, untuk menghaluskan kesusahan, agar penderitaan tidak terasa begitu telanjang.
Diciptakan oleh Muhammad Arief, seorang seniman dari Banyuwangi, lagu ini muncul pada masa penjajahan Jepang. Saat itu, segala sesuatu direbut oleh perang. Rakyat dipaksa menghemat apa yang sudah tidak ada. Maka, genjer menjadi simbol bukan hanya dari makanan, tetapi dari cara bertahan hidup di bawah tekanan kekuasaan asing. Namun, sejarah tidak pernah membiarkan sesuatu tetap sederhana. Lagu ini, yang lahir dari lumpur dan kerja keras, kemudian diangkat oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia sebagai bagian dari gerakan kebudayaan rakyat. Di tangan para aktivis, lagu ini menjadi alat untuk mengkritik ketimpangan dan kemapanan. Ia berubah dari kidung dapur menjadi kidung perjuangan.
Tapi sejarah Indonesia, terutama setelah 1965, berubah menjadi medan yang ganas bagi siapa pun yang terkait dengan PKI. Dan seperti banyak hal lainnya, lagu ini tidak luput dari pembungkaman. Setelah tragedi pembantaian 1965, lagu “Genjer-Genjer” dilarang dan dianggap berbahaya. Siapa pun yang menyenandungkannya, bahkan tanpa tahu sejarahnya, bisa dicurigai, dituduh, bahkan ditangkap. Lagu ini menjadi semacam mantra tabu, yang hidup diam-diam di ingatan orang tua, tapi tak pernah diajarkan pada cucu-cucunya. Muhammad Arief sendiri menghilang. Hilang bersama begitu banyak nama yang ditelan lubang-lubang tanpa nisan. Mungkin ia dibenamkan seperti genjer itu sendiri bawah tanah, di bawah kebijakan, di bawah kebisuan.
Meski begitu, suara tidak bisa selamanya dipenjara. Kini, puluhan tahun setelah pembungkamannya, “Genjer-Genjer” kembali terdengar. Bukan di panggung negara, tetapi di jalan-jalan, di mural-mural, di unggahan media sosial yang membawa luka sejarah ke ruang publik. Lagu ini kembali dinyanyikan oleh generasi yang mungkin tak pernah mencabut genjer di sawah, tapi tetap bisa merasakan lapar dan ketimpangan yang sama. Ia menjadi latar sunyi dalam video-video perlawanan: para buruh yang diusir, petani yang dilukai, aktivis yang ditangkap. Lagu ini kembali menjadi nyanyian rakyat bukan karena disuruh, tapi karena mereka memilihnya.
Di era yang mengaku demokratis ini, “Genjer-Genjer” adalah pengingat bahwa suara rakyat kecil pun bisa dituduh subversif. Bahwa nyanyian dapur bisa ditakuti negara. Bahwa genjer tumbuhan remeh dari sawah bisa menjadi simbol perlawanan jika ia dibungkam terlalu lama. Lagu ini bukan soal kiri atau kanan. Ini tentang siapa yang bicara, dan siapa yang berhak mendengar. Ia mengajarkan bahwa seni bukan hanya milik panggung, tapi juga milik pematang sawah, milik emak-emak yang mencabut sayur sambil bersenandung.
Pesan Singkat Saya:
Jika suatu hari kau bertemu lagu ini di pasar atau taman, berikan padanya secangkir teh dan dengarkan kisahnya. Karena seperti genjer yang tumbuh di lumpur, ia tidak minta dimuliakan, hanya ingin tidak dilupakan.
Penulis: Sulfia/SL

No comments: