“Bumi Manusia”





Judul     : Bumi Manusia
Penulis : Pramudya Ananta Toer
Penerbit : Lentera Lipantara
Tebal     : 535 halaman




Saya bukanlah orang yang sudah banyak baca buku, tapi dari semua buku yang pernah saya baca barulah pada roman karya sang Eks Tapol era Orde Baru inilah saya merasakan “jatuh cinta”. Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer adalah seri pertama dari rangkaian tetralogi pulau Buru. Sebuah kisah yang berlatar era kolonial pada akhir abad 19 dan awal abad 20 ini dapat memberikan kita sebuah gambaran rinci tentang dinamika sosial bahkan dapat membawa kita pada zaman yang lampau itu. Bumi Manusia merupakan roman semi-fiksi yang termasuk realisme-sosialis.


Minke sang tokoh utama adalah seorang pribumi bangsawan putra bupati, tapi ia sangat tidak senang dengan adat istiadat bangsanya sendiri (jawa) yang selaluh menyembah dan mengagungkan orang sesuai kasta, keturunan dan jabatan bukan dari ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang itu. Minke memang adalah pribumi tapi mungkin hanya jasadnya saja yang masih pribumi, semua pandangannya dan pola pikirnya adalah pandangan dan pola pikir ala Eropa bukan jawa lagi, ia semampu mungkin berusaha keluar dari kepompong kebudayaan jawa yang membuatnya selalu merasa di bawah dan terjajah.

Mingke adalah seorang siswa H.B.S,  sekolah yang dikhususkan untuk anak-anak Eropa dan pribumi yang bergelar bangsawan, ia seorang pemuda cerdas suka terhadap sastra dan punya pemikiran yang kritis. Annelis Mellema adalah gadis yang begitu cantik, bahkan digambarkan dalam buku ini kecantikannya disebut-sebut dapat menandingi kecantikan dari sang Ratu Nederland pada saat itu, Ratu Wilhelmina. Ia merupakan putri dari seorang “Nyai” (gundik), bukan seorang Nyai biasa, bukan hanya seorang gundik yang seringkali dianggap hina. Ia adalah Nyai Ontosoro, gundik yang luar biasa, seorang ibu yang begitu mampu mengurusi banyak pekerjaan setelah Tuan Mellema, tuannya, suami tidak sahnya berubah menjadi “orang gila” orang yang sudah tidak peduli pada apapun disekelilingnya. Annelis lebih memilih untuk menjadi seorang pribumi seperti ibunya, walaupun ayahnya merupakan seorang belanda, gadis ini begitu manja pada mamanya, sikapnya begitu manis. Sangat bertolak belakang dengan sikap abangnya Robert Mellema yang merasa bahwa dirinya seorang Belanda tulen dan ia pun tidak menganggap Nyai sebagai ibunya, ia sangat mengagumi ayahnya yang berdarah Eropa, walaupun Ayahnya sendiri sudah tak peduli apapun lagi termasuk dirinya.
Kisah pada roman ini dimulai ketika Minke diajak oleh teman sekolahnya berkunjung ke Wonokromo, disinilah dirumah Nyai Ontosoro, Minke bertemu dengan Annelis dan mendapatkan sebuah dunia baru, dunia yang begitu berbeda tentang kehidupan keluarga seorang nyai (gundik), tidak seperti yang selama ini ia sangkakan. Bahkan Minke terpesona akan kepiyawaian Nyai dalam banyak hal melebihi para wanita bangsawan pribumi, bahkan para wanita eropa terpelajar sekalipun.  Disinalah Pramudya sebagai penulis menggambarkan kisah cinta dengan berbagai konflik yang rumit dan menegangkan, berbagai konflikpun terjadi, permasalahan disana-sini semua digambarkan secara nyata dengan pemilihan diksi yang sangat sastrawi dan puitis.
Akhirnya mingkepun memilih tinggal di Wonokromo bersama keluarga Nyai Ontosoro atas permintaan Nyai serta Annalis, kedekatan itu akhirnya menjadi perbincangan pada masyarakat kerena dianggap tabu pada masanya. Kehidupan keluarga ini dan segala problem yang terjadi didalamnya menjadi pengamatan Minke dan bahan tulisan serta diskusi yang ia lakukan. Minke hampir saja dikeluarkan dari sekolah, karena dia diangap telah melanggar tata-tertib sekolah, Dia dianggap telah berbuat tidak senonoh dengan tinggal serumah dengan seseorang yang bukan istri dan keluarganya. Sebenarnya itu hanya alasan klise. Alasan yang utama adalah karena keberanian Minke untuk menyuarakan pendapatnya melalui tulisan-tulisannya yang saat itu sangat bertentangan dengan pandangan para penguasa Kolonial. Namun setelah mendapat jaminan dari Juffrow Magda Peter sang guru sastra Belanda yang sangat menjayanginya, Minke kembali bisa bersekolah dan menjadi lulusan H.B.S terbaik sesurabaya dan terbaik ke dua Sehindia Belanda. Akhirnya Minke dan Annelis menikah secara Sah
Akhirnya sebuah malapetaka besar menghampiri keluarga muda ini, Anak Tuan Mellema dari istri yang sah menggugat harta warisannya dan meminta hak wali atas Annelis yang masih di bawah umur menurutnya. Pengadilan memutuskan Annelis harus pergi ke Belanda dan pernikahannya dengan Minke dianggap tidak sah secara hukum kulit putih. Minke dan Nyai Ontosoroh berjuang supaya Arnelis bisa tetap tinggal di Hindia atau paling tidak mereka bisa ikut mengantar Annelis ke Belanda. Akhirnya dalam keadaan lemah Annelis tetap dibawa menuju Belanda dengan pasrah dan terpaksa. Sebelum pergi Arnelis berkata kepada ibunya, “Aku akan pergi, Ma, jangan kenangkan yang dulu-dulu. Yang sudah lewat biarlah berlalu.” Setelah itu, ia berkata kepada Minke, “Mas, kita kan pernah berbahagia bersama? Kenangkan kebahagiaan itu saja ya, Mas, jangan yang lain.”
Akhirnya  Minke dan  Nyai Ontosoroh pun menang dalam kekalahan melawan hukum kulit putih.
“Kita kalah, Ma,” bisik Minke kepada Nyai
“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
***
Memang benar roman ini memuat kisah cinta, tetapi roman ini tidak mengajarkan kita untuk menjadi cengeng karena sesuatu yang bernama “cinta” tetapi melawan dengan menjunjung kebenaran dan kecerdasan. Roman ini membuat kita seolah-olah berada pada masa itu, menyaksikan langsung berbagai peristiwa yang terjadi, membuka pikiran kita tentang kehidupan dalam masa pemrintahan Hindia Belanda atau hanya sebuah Penjajahan yang sedang dilakukan oleh orang-orang Belanda? Dan Satuhal yang amat istimewa dari roman ini adalah bagaimana Pramudya menyampaikan pesan-pesan tentang moral tanpa kesan mengguruhi, semuanya ikut mengalir dalam cerita.
Hal yang paling berbeda dihadirkan Pramudya dalam Roman ini ialah penyajian masalah dan klimaks yang hampir tidak terasa. Bukan karena Pramudya tidak dapat mengahdirkan klimaks, namun justru karena gaya penulisan Pramudya yang sungguh membius sehingga pembaca tak sadar emosinya telah digiring menuju klimaks. Di sinilah kejeniusan pramudya sebagai penulis. Jika novel lain klimaksnya sangat terasa, maka hampir semua bagian dan konflik di Roman ini mampu dijadikan klimaks.
Sebenarnya kita belum bisa mengambil kesimpulan sebelum membaca seri selanjutnya, yaitu: Anak semua bangsa, Jejak langkah dan rumah kaca.
Resensi ini belum bisa mewakili keseluruhan cerita dan pesan dari Bumi Manusia, sebab hampir semua yang tertulis di roman tersebut adalah bagian penting yang tidak dapat dilewatkan dan sarat akan pesan moral. Pramudya dengan rinci meramu tiap bagian, tiap tokoh dan tiap perisitiwa di roman tersebut. Resensor berusaha memberikan ringkasan seringkas mungkin yang tidak melenceng dari isi cerita namun akibatnya beberapa bagian menarik menjadi terlewatkan seperti kisah mengenai orang-orang di sekitar Minke dan keluarganya..

 Nanang Khosim
 


“Bumi Manusia” “Bumi Manusia” Reviewed by Silo Langi on 5/12/2014 10:20:00 PM Rating: 5

No comments: