Die Farbe des Ozeans: Empati yang tak terjelaskan


Empati dan rasa kemanusiaan, dua pesan kuat yang saya tangkap saat menonton film Die Farbe des Ozeans pada hari ke 2 festival film Jerman di gedung Madamba Pura RRI, Palu, Juni 2013. Empati dan rasa kemanusiaan yang diharapkan dari polisi perbatasan, dari nelayan, dari pelancong, dan dari warga kepulauan Kanaria sendiri.



Film yang disutradarai Maggie Peren ini mengangkat isu terkini di Eropa, yakni gelombang pengungsi dari Afrika yang masuk secara ilegal. José seorang polisi perbatasan di kepulauan Kanaria (Canary Islands), harus berurusan dengan pengungsi dari Afrika yang hampir tiap minggu mendarat di pantai Kanaria, Spanyol. Menghadapi ratusan pengungsi yang seakan tidak ada habisnya membuat José frustrasi dan menjadikannya sinis tanpa belas kasih.

“Jangan percaya apapun yang mereka katakan, apalagi cerita dari daerah asalnya,” kata José kepada rekannya sebelum mewawancarai para pengungsi. Menurutnya semua pengungsi harus dikembalikan ke negara asalnya tidak perduli seberapa besar resiko perjalanan maut yang telah mereka tempuh. Sikap sinis José menciptakan jarak antara ia dan rekan kerjanya, bahkan dengan saudara kembar perempuannya yang telah mengidap ketergantungan obat terlarang.

Kedatangan perahu pengungsi yang mengangkut puluhan orang Afrika termasuk Zola dan putranya Mmadou serta campur tangan Nathalie, wisatawan Jerman yang sedang berlibur, menjadi awal kisah yang akan merubah hidup José.

Naluri mendorong Nathalie untuk menolong saat melihat perahu kecil berisi rombongan pengungsi terdampar di pantai. Nathalie yang saat itu sedang berenang segera menghampiri dan memberi pertolongan pada Zola, perbedaan bahasa membuat keduanya sulit berkomunikasi. Drama pendek itu berakhir saat José tiba, Zola dan rekannya yang berhasil selamat diangkut ke camp penampungan, yang meninggal dehidrasi dimasukkan ke kantung mayat.

Komunikasi antara Zola dan Nathalie ternyata tidak berakhir di pantai, sesaat setelah melarikan diri dari camp, Zola bersama putranya menghubungi Nathalie via telpon. Dan sekali lagi entah dorongan apa yang membuat Nathalie kembali memberi pertolongan, kali ini berupa uang kepada Zola. Demi niat tersebut Nathalie harus berbohong kepada pasangannya. Sikap Nathalie menyeretnya pada dua masalah yakni konflik pribadi dengan pasangannya, dan menghadapi José.

Alih-alih menyelamatkan kehidupan pribadinya yang terancam hancur, Nathalie malah mengambil resiko membesuk Zola di rumah sakit. Pelarian Zola berujung malapetaka, niat baik Nathalie untuk menolong menjadi boomerang bagi kehidupan pribadinya. Dan José, saudara kembar perempuannya bunuh diri karena merasa diabaikan.

Warna Samudera terjemahan dari Die Farbe des Ozeans, diambil dari potongan percakapan Zola dan putranya Mamadou saat melarikan diri. Film drama kemanusiaan produksi tahun 2011 yang berdurasi 91 menit ini, telah meraih beberapa penghargaan, diantaranya Penghargaan Film Bavaria 2012, Festival Film Hof 2011, dan Festival Film München 2011.


Maggie Peren, menurut saya, berhasil berdiri pada posisi netral dalam melihat isu pengungsi Afrika. José, mewakili perspektif politik negara, menganggap gelombang pengungsi yang datang terus menerus sebagai masalah yang harus dicarikan solusi. Sementara Nathalie, mewakili perspektif kemanusiaan, menaruh empati kepada pengungsi yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mencari tanah harapan.

“Dari puluhan kapal yang melewati mereka, dari ratusan orang yang melihat, hanya kamu yang mau menolong, itu tidak lazim, benar-benar tidak lazim,” ucap José pada Nathalie dalam sebuah dialog yang kaku di koridor rumah sakit.

Naluri kemanusiaan dan rasa empati kadang tidak membutuhkan alasan dan penjelasan.
___
Ojan (Salah satu penginisiasi LPM Silo Langi)
Sumber: ojan-tolare.blogspot.com 

Die Farbe des Ozeans: Empati yang tak terjelaskan Die Farbe des Ozeans: Empati yang tak terjelaskan Reviewed by Silo Langi on 2/21/2014 02:37:00 AM Rating: 5

No comments: