![]() |
Foto by: Widya,SL/ "Audiensi Lembaga-Lembaga ke WADEK III" |
SiloLangiNews-Palu. Persoalan dana kelembagaan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Tadulako mencuat ke permukaan setelah berlangsungnya audiensi antara pihak birokrasi fakultas dan ketua-ketua lembaga mahasiswa pada 9 Mei 2025. Dalam pertemuan yang berlangsung di salah satu ruang rapat FKIP itu, ketua-ketua lembaga mempertanyakan banyak hal yang mereka anggap tidak transparan selama ini.
Audiensi dimulai dengan pernyataan dari Ketua HIMAPAUD Febrianingsih, yang mewakili keresahan ketua-ketua lembaga lainnya .
"Kami ingin menanyakan beberapa hal tentang kelembagaan mengingat saat ini kami mengalami banyak konflik, terutama terkait uang kelembagaan. Pembahasan ini sebenarnya sudah bukan hal baru bagi Bapak. Kami hanya ingin memastikan, kami tidak mau memakai uang lembaga tetapi tidak tahu asal usulnya. Jangan sampai ke depannya ini hanya sekadar ambil, hanya sekadar mengajukan proposal. Kami ingin tahu asal dananya, apakah dari BUPTN atau sumber lainnya," ujarnya.
Masalah utama bermula dari ketidaksinkronan pernyataan antara pihak birokrasi FKIP sendiri. Dekan FKIP menegaskan bahwa hingga kini, dana belum sepenuhnya turun ke fakultas dan akan direalisasikan setelah pagu anggaran ditetapkan. Ia menambahkan, tidak ada yang ditutup-tutupi karena pagu anggaran sudah jelas. Misalnya, jika pagu FKIP sebesar Rp8 miliar, maka sekitar Rp800 juta dialokasikan untuk kegiatan kemahasiswaan. Ia berharap pagu tersebut segera terealisasi, mengingat saat ini sudah memasuki pertengahan tahun.
Namun, pernyataan dekan tidak sejalan dengan informasi yang sebelumnya diterima oleh para ketua lembaga dari Wakil Dekan III, yang sempat menyatakan bahwa dana sudah bisa digunakan untuk kegiatan. Saat dikonfirmasi, Wakil Dekan III mengakui bahwa pernyataan tersebut keliru dengan dalih bahwa ia hanya meneruskan pernyataan Pak KABAG.
"Saya hanya menyambung saja pernyataan dari Pak Kabag, yang mengatakan bahwa sudah boleh mahasiswa berkegiatan," ujar Wakil Dekan III.
Ia juga kemudian menunjukkan Rencana Anggaran Biaya (RAB) kepada ketua-ketua lembaga untuk memperlihatkan alokasi dana yang terkena efisiensi.
Wadek III juga menyampaikan, ada empat kegiatan kemahasiswaan yang sudah berlangsung sebelum kebijakan efisiensi diterapkan. Namun, kegiatan kelima yang telah direncanakan tidak jadi berlangsung karena adanya efisiensi.
"Kami tidak mempermasalahkan mengapa dana lembaga kami terkena efisiensi hingga tinggal Rp7 juta. Tapi yang paling kami inginkan adalah transparansi. Mengapa dana yang tadinya Rp20 juta menjadi Rp7 juta?" ucap febrianingsih masih belum puas dengan penjelasan wadek III.
"Kenapa lembaga kemahasiswaan terkena efisiensi, sedangkan kegiatan-kegiatan yang dibuat oleh birokrasi tidak?" pertanyaan yang lebih mengusik kembali disampaikan oleh perwakilan HIMADIGSA
Keresahan mahasiswa juga bertambah karena ketidakjelasan informasi yang berubah-ubah. Jess, Ketua BEM FKIP, menyampaikan bahwa berdasarkan informasi dari fakultas lain, seperti Hukum dan Kesehatan Masyarakat, dana sempat diblokir namun akhirnya kembali normal. Ia berharap hal yang sama terjadi di FKIP.
Lebih dari sekadar masalah dana, ketua-ketua lembaga juga menyampaikan persoalan komunikasi yang membingungkan.
"Harapannya, komunikasi antara lembaga mahasiswa dan birokrasi semakin baik. Karena jangan sampai terulang kembali apa yang kami tanyakan ke pihak keuangan itu jawabannya berbeda. Sementara ketika kami menanyakan kembali kepada Bapak, jawabannya berubah lagi. Bahkan ketika kami hubungi kembali, pernyataannya berbeda lagi," kata Maul, Selaku ketua HIMABRIS.
Ia juga menyesalkan respons birokrasi yang kadang terkesan menolak.
“Kami menyayangkan ketika kami meminta pelayanan dari Pak Hum selaku Wakil Dekan Kemahasiswaan, yang seharusnya sejalan dengan mahasiswa, tapi kesannya justru menolak,” lanjutnya.
Ketua BEM FKIP, Jesica, menambahkan ketidakadilan yang ia rasakan.
“Kebijakan ini terasa tidak adil, Pak. Jika dana sudah turun lalu langsung dibagi rata Rp7 juta, kami diminta hitung sendiri. Tapi saat kami hitung, hasilnya berbeda. Setelah kami konfirmasi kembali, ternyata tidak sesuai.”
Menanggapi berbagai keluhan tersebut, dekan menyampaikan permintaan maaf.
“Sudah kami jadikan catatan atas laporan Anda untuk kami diskusikan. Saya akan rapat dan minta juga Ibu Ama sebagai penanggung jawab. Saya minta maaf pada mahasiswa FKIP secara keseluruhan jika ada layanan yang kurang pas, atau kata-kata yang tidak pantas,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak setuju jika ada pegawai yang berkata kasar kepada mahasiswa.
“Saya turut prihatin jika ada pegawai yang memberikan respon kasar. Saya pribadi tidak setuju dengan hal itu. Saya juga sudah minta Kabag agar staf tidak mengeluarkan kata-kata kasar, apapun bentuk keluhannya,” tuturnya.
Dekan mengatakan bahwa informasi dari mahasiswa merupakan masukan penting.
“Di WA saya banyak laporan, termasuk tentang staf prodi yang menggunakan kata-kata tidak pantas. Saya berterima kasih atas laporan itu,” tambahnya.
Sementara itu, ketidaksinkronan informasi masih menjadi masalah. Sebelumnya Wakil Dekan III menyebut pagu anggaran tidak bisa diubah, namun pada pertemuan 9 Mei ia mengatakan pagu bisa berubah. Hal ini membuat mahasiswa bingung dan sulit menyusun proposal induk.
Afriansyah dari HIMAFI turut menyoroti inkonsistensi dalam pelaporan LPJ.
“Om Budi bilang tidak ada makanan dalam LPJ. Tapi di RAB kegiatan senilai Rp100 juta disebutkan ada konsumsi. Dan kegiatan itu tidak mengalami efisiensi, sementara kegiatan kami justru terkena efisiensi,” ujarnya.
Wakil Dekan II menjelaskan bahwa anggaran fakultas mengalami penurunan dari sebelumnya Rp13 miliar menjadi sekitar Rp5 miliar. Dana penelitian dosen, perjalanan dinas, dan ATK juga menurun drastis.
“Saya akan tanyakan lebih jelas ke Bendahara, apakah ada perubahan atau tidak,” katanya.
“Jadi kuncinya di Bendahara, Pak? Hak mahasiswa katanya tidak dikurangi, tapi faktanya tetap berkurang. Banyak mahasiswa juga yang UKT-nya dipotong, itu kan memengaruhi pendapatan?” Sardiansa dari HIMAPTIKA menanggapi
Ia juga mengonfirmasi soal penurunan dana kemahasiswaan dari Rp900 juta ke Rp500 juta.
“Sebelumnya disampaikan oleh Warek III bahwa dana kemahasiswaan turun dari Rp900 juta ke Rp500 juta. Dari Rp500 juta itu, Rp100 juta sudah dipakai untuk kegiatan fakultas.”
Wakil Dekan II membenarkan bahwa dana tersebut termasuk untuk kegiatan seleksi mahasiswa. Kemudian Afriansyah menambahkan pernyataan.
“Kalau dipersenkan, sisa dana kelembagaan kurang dari Rp400 juta. Dari situ, lembaga-lembaga hanya bisa dapat sekitar Rp10 juta. Itu yang menjadi pertahanan kami.”
Wakil Dekan II menegaskan bahwa semua anggaran mengalami penurunan, termasuk pengabdian masyarakat dan kegiatan dosen.
“Kalau gaji tidak boleh dikurangi,” ujarnya.
Afriansyah kembali bertanya, “Kalau begitu, sumber dana ini dari UKT mahasiswa atau dari APBN?”
“UKT mahasiswa,” jawab Wakil Dekan II. “UKT dibagi: 40% untuk remunerasi dosen, 45% untuk universitas, dan 55% untuk fakultas. Kalau kita dapat Rp10 miliar, maka sekitar Rp900 juta untuk mahasiswa. Tapi karena turun jadi Rp5 miliar, dana mahasiswa pun ikut turun.”
Afriansyah menimpali, “Kalau semuanya dari UKT, berarti tidak ada pemerataan. Mahasiswa FKIP kan terbanyak. Seharusnya ada penyesuaian karena pemasukan juga besar.”
Wakil Dekan II menutup dengan penjelasan, “Tetap ada potongan 40% untuk gaji. Pemerintah juga melakukan efisiensi, termasuk menghapus anggaran perjalanan dinas. Dosen tidak boleh menyediakan konsumsi. Mahasiswa masih boleh satu makan atau snack. Tapi UKT juga bervariasi, ada yang diskon bahkan bebas. Jadi tidak bisa dihitung rata.”
Audiensi ini menjadi penanda bahwa persoalan administratif bukan hanya soal dana, tapi juga komunikasi dan akuntabilitas yang perlu dibenahi.
Penulis: 114/SL & 112/SL

No comments: