![]() |
Foto: from Pinterest |
SiloLangiNews-Palu. Pengibaran bendera bajak laut Topi Jerami dari serial One Piece dalam momen perayaan kemerdekaan sempat menuai respons yang berlebihan dari sejumlah pejabat negara. Bendera fiksi ini dituding sebagai bentuk perendahan terhadap simbol negara, bahkan sempat dihubungkan dengan narasi makar. Dalam konstruksi hukum formal, tuduhan semacam ini mungkin terlihat sah. Namun dalam lanskap kebudayaan dan kebebasan berekspresi, reaksi semacam itu justru menunjukkan cara berpikir kekuasaan yang tidak akomodatif terhadap ekspresi rakyat.
Bagi banyak anak muda hari ini, Jolly Roger bukan sekadar bendera bajak laut. Ia telah menjelma menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, semangat solidaritas, dan kebebasan untuk menentukan arah hidup nilai-nilai yang, ironisnya, dulu juga dikibarkan oleh para pendiri republik ini.
Namun yang menarik adalah bagaimana arah wacana ini berubah. Presiden Prabowo, dalam sebuah pernyataan yang cukup mengejutkan, menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece merupakan bentuk kreativitas masyarakat yang patut diapresiasi. Tiba-tiba simbol yang sebelumnya dianggap “subversif” kini mendapat tempat dalam narasi resmi negara. Sebagian publik menilai ini sebagai langkah maju; sebagian lain melihatnya sebagai bentuk kalkulasi politis sebuah strategi “main pahlawan” yang muncul saat badai opini mulai tak terkendali.
Fenomena ini menghadirkan pertanyaan kritis: apakah ekspresi masyarakat baru dianggap sah dan aman ketika telah mendapat legitimasi dari negara? Apakah simbol-simbol kebebasan hanya boleh hadir sejauh mereka tidak mengganggu kenyamanan kekuasaan?. Memang benar bahwa negara memiliki aturan hukum yang mengatur penggunaan simbol-simbol nasional. Namun menempatkan simbol budaya popular yang jelas lahir dari ruang imajinasi dalam posisi yang sama dengan ancaman ideologis, bukan hanya berlebihan, tapi juga memperlihatkan kecenderungan kekuasaan yang defisit kepercayaan pada warganya sendiri.
Bendera Merah Putih tidak akan ternoda hanya karena berkibar berdampingan dengan bendera Jolly Roger. Sebaliknya, demokrasi justru akan ternoda ketika pemerintah mulai alergi terhadap bentuk-bentuk ekspresi rakyat, betapapun nyeleneh atau tidak konvensionalnya bentuk itu. Kita perlu lebih jujur dalam membaca dinamika ini. Ketika negara merasa terancam oleh simbol perlawanan fiktif, barangkali yang sebenarnya sedang dipertanyakan adalah posisi moral kekuasaan itu sendiri. Simbol kebebasan tidak pernah berbahaya bagi kekuasaan yang adil dan akuntabel. Yang merasa gentar hanyalah mereka yang membangun kekuasaannya di atas fondasi ketakutan dan ketimpangan.
Maka, ketika pemerintah tiba-tiba memeluk simbol yang dulu mereka anggap makar, kita perlu lebih waspada. Sebab bisa jadi, ini bukan bentuk penerimaan terhadap kebebasan, melainkan upaya merangkulnya untuk kemudian menjinakkannya.
Penulis: Sulfia/SL
Kalau Jolly Roger Dituduh Makar, Lalu Siapa yang Sebenarnya Bajak Laut?
Reviewed by Silo Langi
on
8/09/2025 09:49:00 PM
Rating:

No comments: